Ruang Takut dalam Diri

Setiap kita memiliki ruang rasa takut dalam diri. Mungkin ia berada di hati dan pikiran. Ketika kita senang, nyaman, tak ada gangguan apa-apa, ruang rasa takut itu seakan sedang kosong. Kita bisa tertawa. Tersenyum dan bahkan bernyanyi riang. Saat itu, kegembiraan dan kedamaian adalah milik kita. Bagi yang bersyukur, ia akan berkata, Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang. Kita bisa merasakan nikmat hidup.

Selama aman-aman dan nyaman-nyaman saja, kita kadang sering lupa, kalau ruang rasa takut atau rasa cemas itu juga memiliki pintu, yang silih ganti buka-tutup, kosong, setengah berisi bahkan penuh. Sebagai mana ruang rasa bahagia, aman dan nyaman, memiliki pintu yang sifatnya juga sama. Karena itu, ketika kita merasa bahagia, ruang itu terasa penuh dari saat biasanya, kita berkata, “Melimpah benar kebahagiaan dan kenyamanan yang kita rasakan….” Lawannya, sebagaimana ungkapan, “Ketakutan yang saya alami luar biasa mencekamnya!”

Ketika kita merasakan sesuatu yang berlebih atau di luar kapasitasnya, kita mestinya berupaya membuka pintu yang ditutup sehingga ada sedikit nganga untuk mengurangi ketakutan tersebut, menjadi celah dan sedikit ruang kosong untuk merenung. Atau pintu yang dibuka lebar, sehingga ada yang lepas keluar, sebagaimana ia bisa leluasa masuk sebelumnya. Karena itulah, ada orang yang merasa sangat bahagia, sebagaimana ada orang merasa sangat takut, yang keduanya punya nasehat: jangan berlebihan!

Akhir-akhir ini, katakanlah sejak gempa besar 30 September 2009 lalu, kemudian disusul gempa-tsunami Mentawai, yang juga dirasakan warga Kota Padang, seakan memasukkan monster ke dalam ruang hati dan pikiran kita, sehingga hari-hari kita bagai dalam ancaman maut setelah itu. Kita kurang enak tidur. Imajinasi buruk menyeringai. Penyebab lainnya, ada prediksi, akan terjadi gempa yang lebih besar dengan ancaman tsunami pula tentunya.

Karena disampaikan ahlinya, ditambah isu liar tak bertanggungjawab, maka bagi yang mendengar dan membaca prediksi ilmiah itu, pintu-pintu ruang rasa takut bagai terbuka lebar. Sehingga ruang dalam hati dan pikiran kita yang absurd ini, mendadak penuh dan melimpah. Celakanya, rasa takut itu terbiarkan bersemayam di dalamnya (hati dan pikiran). Seakan-akan pula, ia menutup ruang-ruang yang lainnya, termasuk ruang keberanian, rasa bahagia dan rasa aman dari dalam diri kita. Seakan ketika prediksi atau kemungkinan itu diletuskan ke publik, ruang lain yang bisa memberi keseimbangan psikologis, bagai terbakar. Kita bagai orang kehilangan keseimbangan.

Ketika tiba-tiba kita mendapatkan volume rasa takut yang besarnya berkali-kali lipat dari yang biasa kita terima di ruang hati dan pikiran kita, sesungguhnya, kita membutuhkan akal yang sehat, hati yang lapang, untuk membangun ruang baru guna menata hati dan pikiran sebagai wadah bagi kehidupan yang harus tetap berlangsung dengan normal. Artinya, ada tempat menampung kegelisahan kita, kemudian secara perlahan mampu memberi energi positif, melihat kenyataan dengan harapan besar. Sehingga, ketika kita pada mulanya takut hidup di negeri potensi gempa, seperti Padang atau Mentawai misalnya, kini berubah menjadi aku tetap mencintai kota ini, dan potensi gempanya yang ada, merupakan bagian dari jalan dan ritma hidup yang harus ada.

Sesungguhnya diri kita, hati dan pikiran punya ruang dan peristiwa alami yang kadang tak bisa kita jelaskan secara riil atau gamblang, sebagaimana bumi atau alam tempat kita hidup. Karena itu, kita memerlukan sebuah ruang dalam diri yang lapang agar bisa merenung. Ketika gempa bumi kita rasakan, ada proses yang sedang berlangsung, baik di bumi/alam juga dalam diri kita. Ketika bumi menata dirinya, kita manusia harus memaklumi, sehingga yang ada kemudian rasa akrab dengan peristiwa gempa. Kalau kita pakai kata akrab, itu artinya, kita mengetahui tindakan yang akan diambil saat terjadi gempa atau tsunami.

Sebagaimana di Mentawai, di Padang, kita bisa maklumi banyak orang yang merasa cemas. Paranoid. Itu tandanya kita manusia biasa, yang masing-masing punya ruang rasa takut. Memang, ruang masing-masing kita berbeda.Terutama mereka yang berada dekat pantai. Zona merah.

Dan, zona merah, adalah zona atau wilayah yang menumbuhkan rasa takut. Dari sinilah, kita menyadari, ternyata ada wilayah atau ruang yang sering (tanpa disadari) terabaikan ketika rasa takut itu menyala. Yakni, ruang untuk menyadari, Tiada Tuhan selain Allah. Hanya pada-Nya kita minta pertolongan.

Dengan begitu, kita menyadari ruang rasa takut dalam diri seseorang, merupakan salah satu ruang dalam kompleks diri kita. Di ruang rasa takut itu pula, kita dituntut membuang kecemasan dengan mempertimbangkan, memasuki ruang hakiki yang bisa menyelamatkan: bersilaturahmi pada sesama manusia, bertaqwa hanya pada-Nya.

Dan, sebaiknya, memang kita membiarkan atau memelihara sedikit atau sekadarnya rasa takut. Sehingga, kita tidak terjebak pada rasa sombong, angkuh dan merasa berkuasa. Jadi, merasa takut, sama penting dengan merasa berani. Keduanya saling memaknai.

Yang terpenting, jangan biarkan rasa takut memenuhi ruang dalam diri (hati dan pikiran). Rasa takut harus keluar dari dalam diri kita, mengusirnya, membunuhnya ketika menyadari ia mengancam ketenangan hidup kita. Karena itu kita memerlukan ruang untuk merenung dari dalam diri.  Ruang untuk menjinakkan rasa takut, sehingga kita memiliki kesiapan untuk menerima hal-hal yang mencekam dengan keyakinan, Tuhan bersama kita jika kita banyak benar dan berbuat baik dalam hidup.***

Dimuat Padang Ekspres 31 Oktober 2010

Tinggalkan komentar